Aku, Kau, dan Sebatang Rokok
“Aku boleh tidak merokok di rumahmu dulu? Sebatang aja kok”, tanyamu ketika mengantarkanku pulang. Aku pun berkata, “ya boleh”. Sambil tersenyum dan mengangguk.
“Aku boleh tidak merokok di rumahmu dulu? Sebatang aja kok”, tanyamu ketika mengantarkanku pulang.
Aku pun berkata, “ya boleh”. Sambil tersenyum dan mengangguk.
Malam sudah mulai larut, tapi aku belum ingin mengakhirinya. Sudah lama kita tak berjumpa. Tak saling berbincang. Tak saling menyapa. Tak saling berbasa basi.
Kau pun mulai menyulutkan api ke sebatang rokokmu itu. Bersamaan dengan dimulainya perbincangan kita.
Perbincangan yang selalu mengenai masa depan, mimpi-mimpi dan rencana-rencana. Masih seperti dulu.
Masih seperti dulu. Dengan penuh semangat aku menceritakan hidupku selama ini, rencana-rencanaku, dan mimpi-mimpiku. Dan masih seperti dulu, kau pun mendengarkan dengan seksama. Memberikan komentar berupa saran, tak lupa semangat-semangat kepada diriku, dan kadang kau selipkan komentar mengundang tawa.
Atau sebaliknya, kau bercerita tentang hidupmu serta impianmu. Dengan tatapan serius penuh semangat. Dan aku mendengarkan secara seksama sambil memberikan semangat kepada dirimu.
Ya, masih seperti dulu.
Masih seperti dulu, aku sangat menikmati setiap perbincangan dan pertemuan kita.
Dengan habisnya sebatang rokokmu itu, menjadi penanda bahwa perbincangan ini telah berakhir. Walau ku tak ingin, tapi malam sudah semakin larut.
Kau pun berpamitan pulang.
Dan masih seperti dulu, kita akan kembali menjadi dua manusia yang tak akan saling bertukar kabar, tak saling menyapa, tak saling berbasa basi.
Aku harap akan ada pertemuan yang lain. Antara aku, kau dan sebatang rokok.
…
deniya raniastri — 2015